Memetik Hikmah Dari Musibah

Senin, 28 Januari 2013

Musibah banjir terparah di negeri ini adalah banjir di ibukota Jakarta. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), musibah banjir di Jakarta telah menelan korban meninggal 15 orang. Jumlah orang yang mengungsi mencapai hampir 50 ribu orang dan kerugian materi mencapai triliunan (lihat, kompas.com, 21/1).

Untuk itu semua pihak, yang terkena musibah dan yang tidak, hendaknya merenungkan tuntunan Islam dalam menyikapi musibah, sehingga musibah bisa disikapi dengan benar dan dipetik hikmahnya demi kebaikan dan perbaikan ke depan.
Iman dan Ridho terhadap Qadha’ Allah

Kita wajib beriman bahwa musibah apa pun termasuk musibah banjir sudah ditetapkan Allah SWT. Kita pun wajib menerima ketentuan Allah ini dengan lapang dada (ridha). Allah SWT berfirman:
]مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ [
Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah(TQS al-Hadid [57] : 22)


Sikap lapang dada dan ridha akan mendatangkan kekuatan ruhiyah yang besar dalam menghadapi musibah itu. Juga bisa memberikan suasana psikologis yang akan meringankan dampak musibah itu dan sangat membantu dalam upaya penyelesaiannya.
Bersabar, Banyak Berdoa dan Berdzikir
Sebagai qadha’, musibah itu tak terhindarkan sehingga bagaimanapun juga harus dihadapi. Untuk itu, sikap sabar itu harus dipupuk sebab Allah memang akan menguji hamba-Nya dengan musibah; dan bagi orang yang sabar menghadapinya Allah berikan kabar gembira.
] … وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ[
Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn”. Mereka itulah yang mendapat keberkahan dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (TQS al-Baqarah [2] : 155-157)
Rasul saw mengajarkan agar kita banyak istirja’ (mengembalikan segalanya kepada Allah) dan berdoa. Rasul saw bersabda:
«مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا»
Tidaklah seorang hamba ditimpa musibah lalu ia mengatakan, “Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn –sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali-, ya Allah berilah pahala kepadaku dalam musibahku ini, dan berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya”, kecuali Allah memberinya pahala dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik untuknya (HR Muslim, Ahmad dan Ibn Majah)
Dalam kondisi itu hendaknya juga banyak berdzikir. Dzikir akan dapat menenteramkan hati orang yang sedang gelisah atau stress. Dzikir ibarat air es yang dapat mendinginkan tenggorokan di tengah terik cuaca panas. Allah berfirman (artinya): “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (TQS ar-Ra’du [13] : 28).
Mengetahui Hikmah di Balik Musibah
Di balik musibah sebenarnya terkandung hikmah yang luar biasa. Sabda Rasul saw di atas menyatakan, jika musibah datang dihadapi dengan istirja’, doa dan sabar, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik, di dunia dan atau di akhirat.
Bukan hanya itu, Allah juga menjanjikan ampunan. Rasul saw bersabda:
«مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً»
Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali dengannya Allah tinggikan dia satu derajat atau Allah hapuskan darinya satu kesalahan. (HR Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad)

Bahkan di antara musibah itu ada yang Allah sediakan pahala syahid. Rasul saw bersabda:
«الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»
Orang-orang yang syahid itu ada lima golongan: orang yang (mati karena) wabah -tha’un-, penyakit perut (disentri, kolera, dsb), tenggelam, tertimpa tembok/bangunan, dan syahid di jalan Allah. (HR Bukhari dan Muslim)
Muslim yang memahami hikmah atau rahasia di balik musibah itu, dilandasi dengan iman, disertai sikap ridha terhadap qadha’ dan sabar menghadapinya, maka ia akan memiliki ketangguhan mental yang luar biasa. Dengan semua itu, niscaya setelah musibah berlalu, semuanya berubah menjadi kebaikan.
Bertaubat dan Ikhtiar Melakukan Perbaikan
Musibah yang menimpa manusia tiada lain adalah akibat dosa mereka. Allah SWT berfirman:
]وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ[
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar(TQS asy-Syura [42] : 30)

Musibah yang menimpa juga bisa merupakan konsekuensi dari kemaksiatan dalam bentuk fasad atau kerusakan yang diperbuat oleh manusia di muka bumi (Lihat, QS ar-Rum [30]: 41).
Karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah muhasabah, merenungkan kemaksiatan atau kerusakan apa yang sudah diperbuat lalu bertaubat dengan taubatan nashuha. Yaitu menyesalinya dan mohon ampunan; berhenti tidak lagi melakukannya; dan bertekad kuat tidak akan mengulanginya lagi di masa datang serta diiringi dengan melakukan perbaikan baik terkait dengan sesama atau terhadap kerusakan yang ditimbulkan. Begitu pun dalam musibah banjir belakangan ini.
Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca air ditentukan empat faktor: curah hujan, air limpahan dari wilayah sekitar, air yang diserap tanah dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar. Dari semua itu, hanya curah hujan yang tidak bisa dipengaruhi dan diintervensi oleh manusia.
Jumlah air yang terserap tanah tergantung jenis tanah dan vegetasi (tumbuhan) di atasnya. Limpahan air dari wilayah sekitar sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang terserap tanah di wilayah sekitar itu. Makin banyak vegetasi, makin tinggi daya serapnya. Makin luas wilayah resapan dan terbuka hijau, akan makin besar jumlah air yang tertampung dan terserap tanah. Menggunduli hutan, mengeringkan rawa dan situ atau mengubah fungsinya secara drastis, dan makin luas permukaan tanah yang ditutup beton dan aspal, berarti merencanakan bencana. Itulah yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
Dalam kurun waktu lima tahun, 56 situ di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi telah menghilang. Yang tersisa mengalami pendangkalan dan kerusakan parah karena diabaikan. Luas total situ di Jabodatabek berkurang drastis dari 2.337,10 hektare untuk total 240 situ, sekarang menjadi hanya 1.462,78 hektare untuk 184 situ.
Laju pembangunan yang tak terkendali menyebabkan hilangnya daerah dan fungsi resapan air di Jakarta dan kawasan sekitarnya terutama Puncak. Di Jakarta daerah resapan tak sampai 10%, sangat jauh dari angka minimal 30% yang disyaratkan, semuanya tergusur oleh pembangunan. Sedangkan di Puncak, kehilangan fungsi resapan itu hingga 50 persen jika dibandingkan kondisi 15 tahun lalu. (lihat, tempo.co.id, 18/1)
Sedangkan limpahan air masuk dan keluar, maka itu dapat dikelola dengan bendungan, tanggul, kanal, dan pompa air. Sayangnya menurut BNPB, kemampuan Kali Ciliwung hilir, Angke, Pesanggrahan, Krukut dan sungai lainnya hanya mampu mengalirkan kurang dari 30% air yang ada. Hal itu karena pendangkalan, penyempitan terdesak oleh pemukiman di bantaran sungai dan karena tertutup sampah.
Masalah Banjir: Tak Hanya Teknis tapi Sistemis dan Ideologis

Banjir yang selalu terjadi, berulang, dan makin parah, bukti bahwa itu bukan masalah teknis belaka, tetapi persoalan sistemik. Juga bukan sekadar masalah sistem teknis, di mana banjjir itu bisa diselesaikan dengan bendungan baru, pompa baru, kanal baru, dll.
Lebih dari itu, banjir merupakan masalah sistemis ideologis. Sebab masalahnya juga menyangkut tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati bantaran sungai, keserakahan yang membuat daerah hulu digunduli, daerah resapan ‘ditanami’ gedung dan mall demi pendapatan daerah dan memuaskan nafsu kapitalis, sistem anggaran yang tidak adaptable untuk atasi bencana, pejabat dan petugas yang tidak kompeten dan abai mengadakan dan mengawasi infrastruktur, penguasa dan politisi yang lalai mengurusi dan menjamin kemaslahatan rakyat, dsb. Semuanya itu saling terkait dan berhulu pada ide mendasar bahwa semua itu diserahkan kepada mekanisme pasar dan proses demokratis. Dengan kata lain masalah banjir itu adalah masalah sistem dan ideologi yaitu sekulerisme kapitalisme demokrasi.
Dengan demikian, kemaksiyatan yang menyebabkan musibah banjir itu bukan hanya kemaksiyatan individual tetapi juga kemaksiyatan kolektif pada tingkat masyarakat; juga tak sekadar kemaksiyatan teknis tetapi juga kemaksiyatan sistemis idelogis. Karena itu, taubat dalam masalah banjir, tentu tidak cukup pada tingkat individu, tetapi juga harus taubat secara kolektif pada tingkat masyarakat. Ikhtiar yang harus dilakukan juga tidak bisa hanya sebatas teknis, melainkan juga pada tataran sistemis ideologis. Taubat dan ikhtiar itu harus disempurnakan dengan meninggalkan sistem ideologi kapitalisme demokrasi dan menggantinya dengan sistem ideologi Islam, dan itu hanya bisa diimplementasikan dalam bingkai Khilafah. Inilah bentuk taubatan nashuha dan ikhtiar sempurna yang harus dilakukan sekaligus upaya tuntas mengatasi masalah banjir. Wallâh a’lam bi ash-shawâb

Sumber :http://hizbut-tahrir.or.id/


0 komentar:

Posting Komentar