Keunggulan Islam Dalam Pengisian Jabatan Kepala Negara dan Kepala Daerah

Senin, 14 Januari 2013

Pendahuluan
Agama yang paling banyak dianut di Indonesia adalah Islam[1]. Hanya saja, banyaknya jumlah penganut agama Islam tidak serta merta berbanding lurus dengan diterapkannya sistem hukum dan politik Islam. Umat Islam di Indonesia, dalam melaksanakan ajaran agamanya, baru sebatas ibadah ritual semisal sholat, puasa, zakat, haji. Adapun hukum yang bisa dilaksanakan baru sekedar hukum privat yang masih terbatas seperti nikah, talak, rujuk, waris dan sebagian aktivitas muamalah.
Sistem hukum dan politik yang diterapkan di Indonesia lebih banyak mengadopsi sistem hukum dan politik barat. Sistem hukumnya mengacu kepada sistem hukum Belanda yang menganut eropa kontinental. Bahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah salinan dari KUHP untuk golongan Eropa. Sementara, sistem politik Indonesia mengacu kepada sistem demokrasi yang berasal dari Barat. Walaupun ada tambahan kata “Pancasila” setelah kata Demokrasi (Demokrasi Pancasila), tetap saja yang menjadi ide dasarnya adalah Demokrasi, sementara kata Pancasila sekedar keterangan yang menunjukkan bahwa demokrasi yang diterapkan adalah Demokrasi ‘versi’ Indonesia. Akan tetapi intinya, demokrasi tetap saja memiliki makna “pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat” (government of the people, by the people, and for the people)[2].

Definisi tersebut sekaligus memiliki makna bahwa demokrasi adalah sistem yang dikreasikan sendiri oleh manusia tanpa melibatkan peran Tuhan atau agama. Alhasil, ide dan sistem demokrasi yang dianut dan diterapkan di negeri-negeri Islam termasuk di Indonesia bukan berasal dari Islam atau khazanah pemikiran Islam, melainkan berasal dari bangsa Barat yang sekular.[3]
Salah satu konsekuensi dan aplikasi dari ide demokrasi dalam hal pengisian jabatan kepala negara atau kepala daerah adalah dengan melibatkan rakyat. Rakyat dilibatkan untuk menentukan siapa kepala negara dan kepala daerahnya. Kepala negara dan kepala daerah dalam sistem demokrasi, dipilih untuk menjalankan konstitusi, hukum dan aturan yang dibuat oleh (wakil) rakyat. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari prinsip “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Di Indonesia, pemilihan kepala negara/presiden (Pilpres) dan kepala daerah (Pemilukada) secara langsung oleh rakyat dimulai pada tahun 2004 yang merupakan tuntutan dari reformasi. Sebelumnya, kewenangan memilih kepala negara/presiden dan kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota) ada pada lembaga legislatif, yakni MPR, DPR dan DPRD.
Dalam sistem demokrasi, rakyat dianggap memegang peranan yang sangat penting. Pemilihan secara langsung oleh rakyat dipandang sebagai upaya menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, sebuah prinsip yang sangat asasi dalam demokrasi. Maka konsekuensinya dilaksanakan Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung dan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada).
Pelaksanaan pilpres pertama pada tanggal 5 Juli 2004 mengacu kepada UU No. 23 tahun 2003 yang kemudian diganti dengan UU No. 42 tahun 2008. Sementara pelaksanaan Pemilukada mengacu kepada UU No.32/2004, Perpu No.3/2005, PP No.6/2005 dan PP No.17/2005. UU tersebut menyebutkan, bahwa “kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2004 sampai dengan bulan Juni 2005 diselenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung…”.

Problem Pilpres dan Pemilukada
Ada beberapa masalah penting terkait dengan pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) di Indonesia.
Pertama, Presiden dipilih tidak dalam rangka melaksanakan hukum (syariat) Islam. Pilpres dan Pemilukada dalam sistem demokrasi diadakan untuk menjalankan konstitusi, hukum dan aturan hasil rekacipta manusia, bukan dalam rangka menerapkan hukum-hukum Allah swt. Dalam sistem demokrasi, bahkan ada lembaga yang khusus yang bertugas membuat Undang-Undang (UU), yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan diantaranya berkewajiban menjalankan UU yang dibuat oleh DPR.
Saat ini, tidak sedikit UU dan produk hukum di Indonesia yang bukan hanya merugikan rakyat, akan tetapi juga bertentangan dengan hukum Islam, sebagai contoh KUHP[4], UU Migas[5], UU SDA[6] UU PMA[7], UU Perbankan[8], dan banyak lagi undang-undang lainnya.
Di dalam Islam, “al-hakim” (pembuat hukum) adalah Allah swt, manusia adalah pelaksana hukum dan yang terkena taklif(beban) hukum. Manusia tidak memiliki hak sehingga tidak diperbolehkan membuat hukum dan perundangan-undangan, terlebih jika asas dan sumber hukumnya bukanlah alquran dan as-sunnah.
Kedua, Pilpres dan Pemilukada menyebabkan pemborosan dan inefisiensi anggaran negara. Dalam perjalanannya, setelah Pilpres dan Pemilukada digelar, biaya yang dikeluarkan sangatlah besar, baik anggaran yang dikeluarkan pemerintah maupun dari pasangan calon kepala daerah. Untuk penyelenggaraan Pemilu Presiden 2009 saja, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan anggaran sebesar Rp 9,07 triliun[9]. Itu belum termasuk anggaran Pemilukada yang pada tahun 2010 saja, menghabiskan anggaran sebesar Rp 3,5 triliun[10].
Adapun biaya yang dikeluarkan oleh pasangan calon gubernur atau bupati/walikota besarnya bervariasi yakni sebesar Rp 20 hingga 150 miliar.[11] Jika diambil asumsi anggaran minimal (Rp 20 miliar), maka biaya yang dikeluarkan oleh pasangan gubernur dan bupati/walikota pada tahun 2010 saja mencapai sekitar Rp 4,8 triliun.[12] Padahal gaji gubernur hanya Rp 8,7 juta per bulan, sedangkan gaji bupati sebesar Rp 6,2 juta.
Maka, jika biaya kampanye pasangan gubernur dan bupati/walikota lebih besar dari gaji yang diterima, kondisi tersebut akan membuka lebar-lebar peluang korupsi. Faktanya, korupsi justru kian meningkat paska pelaksanaan pilkada langsung. Mengacu pada data kuantitatif KPK, sejak 2005, terdapat 40 kepala daerah, baik gubernur, wali kota, maupun bupati yang menjadi terpidana kasus korupsi. Sementara menurut Kantor Sekretariat Negara, hingga 2010, Presiden SBY telah menandatangani 150 surat izin pemeriksaan bagi kepala daerah yang jadi saksi ataupun tersangka kasus korupsi.[13]
Selain telah memicu korupsi hingga ke daerah-daerah, ternyata besarnya anggaran negara yang dikeluarkan untuk pilpres dan pemilukada tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Rakyat masih belum beranjak dari permasalahan serius yang membelitnya, yakni kemiskinan.
Ketiga, Konflik horisontal dan sengketa hukum. Pelaksanaan pilpres dan pemilukada di Indonesia juga rawan konflik sosial. Tidak sedikit konflik fisik horizontal terjadi antar pendukung pasangan. Di Padang Pariaman, Sumatera Barat misalnya, konflik pemilukada berbuntut perusakan kantor KPUD. Aksi pendudukan, pengepungan kantor KPUD, bentrokan dengan petugas keamanan, dan sejenisnya terjadi di beberapa daerah tempat-tempat seperti Depok (Jawa Barat), Semarang dan Sukoharjo (Jawa Tengah), Mataram NTB, Toli-Toli (Sulawesi Tengah), Gowa (Sulsel), Gorontalo, Cilegon (Jawa Barat), Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan), Kaur (Bengkulu), Maluku Utara dan provinsi serta kabupaten/kota lainnya.
Adapun terkait sengketa hukum pemilu, tercatat sejak Juni 2005 hingga Maret 2008, dari 349 pelaksanaan pemilukada, terjadi 179 sengketa (51%). Dan pada tahun 2010, dari 224 pemilukada terdapat 215 sengketa yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (95%).
Keempat, Pelaksanaan Pilpres dan Pemilukada 5 tahunan menyebabkan jalannya pemerintahan menjadi tidak berjalan efektif. Ini terjadi karena presiden atau gubernur dan bupati lebih sibuk untuk mempertahankan kekuasaan, memoles citra diri daripada fokus mengurusi rakyat. Seringkali yang terjadi, tahun pertama adalah tahun penyesuaian dan membangun kesolidan tim, tahun kedua dan ketiga mulai bekerja. Tahun ke empat dan lima sudah berpikir lagi untuk mempertahankan kursi kekuasaan. Tentu dalam konteks pembangunan jangka panjang, kondisi tersebut merupakan problem serius. Ditambah lagi dengan kebiasaan “ganti pejabat, ganti kebijakan”, maka akan menyebabkan pembangunan menjadi tidak optimal dijalankan.
Alhasil, pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) dan kepala daerah (pemilukada) yang disebut sebagai perwujudan dari demokrasi tersebut ternyata memunculkan beberapa problem berikut, yakni pertama Presiden dipilih tidak dalam rangka melaksanakan hukum Islam, kedua, Pilpres dan Pemilukada menyebabkan pemborosan dan inefisiensi anggaran negara,ketiga akan sering terjadi konflik horisontal dan sengketa hukum dan keempat Pelaksanaan Pilres dan Pemilukada 5 tahunan menyebabkan jalannya pemerintahan menjadi tidak efektif.


Pandangan Islam tentang Pilpres dan Pemilukada
Pandangan Islam terhadap Pemilihan Presiden (Pilpres)
  1. 1.      Dari Aspek Asas
Jika dilihat dari asasnya terdapat perbedaan yang mendasar antara pemilihan presiden di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dengan pemilihan kepala negara (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah).
Seorang kepala negara kepala negara (presiden) dalam sistem demokrasi, diangkat untuk menjalankan sistem, hukum, dan konstitusi yang dibuat oleh manusia (baca; wakil rakyat) bukan hukum yang diturunkan Allah swt. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari asas demokrasi yakni “dari rakyat, oleh dan untuk rakyat” dan “rakyat adalah pemilik kedaulatan”.
Sedangkan kepala negara dalam sistem pemerintahan Islam dipilih oleh umat untuk menjalankan dan menerapkan seluruh syariat Islam (hukum Allah swt) dan menyatukan umat Islam di seluruh dunia.
Adapun dalil (argumentasi) kewajiban penguasa (kepala negara) untuk menerapkan hukum-hukum Allah diantaranya Firman Allah dalam Quran Surat Al-Maidah:
وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم واحذرهم أن يفتنوك عن بعض ما أنزل الله إليك فإن تولوا فاعلم أنما يريد الله أن يصيبهم ببعض ذنوبهم وإن كثيرا من الناس لفاسقون
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati- hatilah kamu kepada mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (QS. 5: 49).

فاحكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم عما جاءك من الحق
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. 5: 48).

Karena khithab kepada Rasul adalah khithab kepada umatnya, maka khittab itu adalah khithab untuk tiap penguasa pula.
Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa membuat hal-hal baru dalam urusan kami yang tidak berasal darinya (Allah dan Rasul-Nya), maka sesuatu itu tertolak.” Dalam riwayat lain juga dari ‘Aisyah RA dituturkan: “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang perkara kami tidak mengukuhkannya, maka sesuatu itu tertolak.”

Maka, dari aspek yang mendasar tersebut, maka jelas pemilihan presiden (sekaligus wakil presiden) tidak sesuai dengan syariat Islam karena tidak dalam rangka menjalankan hukum-hukum (syariat) Islam. Begitupun halnya dengan pemilihan kepala daerah, karena merupakan struktur di bawan kepala negara.

  1. 2.      Dari Aspek Syarat dan Masa Jabatan Kepala Negara
Hal lain yang membedakan (pemilihan) kepala negara dalam sistem Islam dan demokrasi adalah syarat dan masa jabatan kepala negara.
Dalam sistem demokrasi, seorang presiden tidak harus beragama Islam, karena dia diangkat tidak dalam rangka menerapkan hukum Allah. Sementara dalam sistem Islam (Khilafah), seorang kepala negara (khalifah) harus beragama Islam, karena dia diangkat untuk melaksanakan hukum-hukum Allah (syariat Islam).
Selain tidak mengharuskan beragama Islam, dalam Sistem Demokrasi seorang presiden juga tidak harus laki-laki. Sementara dalam sistem Islam, seorang kepala negara dalam Islam harus seorang laki-laki. Tidak diperbolehkan seorang kepala negara seorang perempuan. Ketentuan tersebut mengacu kepada sabda nabi saw:
Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan. (HR al-Bukhari)”.

Dalam hal masa jabatan, dalam negara demokrasi, masa jabatan seorang kepala negara dibatasi waktunya, misalnya 4 atau 5 tahun. Sementara dalam Islam, seorang kepala negara tidak dibatasi masa jabatannya berdasarkan waktu tertentu. Selama tujuh syarat seorang khalifah dapat terpenuhi[14] dan khalifah masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu untuk melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab keKhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah.
Sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain, dinyatakan:
“(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah. (HR Muslim).

Sebaliknya, walaupun baru beberapa saat saja seorang khalifah dibai’at, akan tetapi jika syarat in’iqad khalifah tidak lagi mampu dipenuhi serta tidak lagi menjalankan syariah dan hukum-hukumnya atau melakukan pelanggaran (ma’shiyat) berat, maka seorang khalifah dapat diberhentikan.
Pencopotan jabatan kekhilafahan karena tidak terpenuhinya lagi syarat menjadi seorang khalifah adalah batasan yang paling rasional daripada batasan masa jabatan. Karena saat ini misalnya, di negara-negara demokrasi banyak kepala negara yang tidak fokus mengurus urusan masyarakat. Hal tersebut terjadi akibat para elite politik yang senantiasa sibuk dengan urusan perebutan kursi kekuasaan.
Seringkali siklusnya seperti ini; tahun pertama berkuasa adalah tahap penyesuaian dan membangun kesolidan tim, tahun kedua dan ketiga mulai fokus bekerja. Dan tahun ke empat dan lima sudah berpikir lagi untuk mempertahankan kursi kekuasaan. Sehingga nyaris, waktu efektif untuk bekerja hanya kurang lebih dua tahun. Tentu dalam konteks pembangunan jangka panjang, kondisi tersebut merupakan problem serius. Ditambah lagi dengan kebiasaan “ganti pejabat, ganti kebijakan”, maka akan menyebabkan pembangunan menjadi tidak optimal dijalankan.

  1. 3.      Dari Aspek Metode
Di Indonesia, pemilihan presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Yang berhak menjadi presiden dalam negara demokrasi adalah yang mendapatkan suara terbanyak dari rakyat. Tentu, yang dimaksud dengan rakyat adalah siapapun yang menjadi warganegara, tanpa membedakan ilmu dan ketaqwaan. Suaranya orang alim dalam demokrasi sama dengan suaranya orang jahil (bodoh). Suaranya orang shalih dalam demokrasi sama dengan suaranya pelaku maksiat.
Metode pengangkatan kepala negara (khalifah) dalam Islam adalah dengan bai’at. Untuk pengangkatan khalifah pertama kali[15], bai’at in’iqad-nya dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdhi[16]Ahlul halli wal ‘aqdhi membai’at calon khalifah dengan ridha dan pilihan menjadi khalifah dengan bai’at in‘iqâd.
Dan ketika sistem Khilafah sudah tegak, maka bai’at pengesahan (in’iqad) dilakukan oleh Majelis Umat[17]. Majelis Umat melakukan bai’at in‘iqâd terhadap calon khalifah, yang ditunjukkan dengan adanya proses ijâb dan qabûl.
Alhasil, dalam Islam yang memegang peranan penting mulai dari rekrutmen dan pembatasan calon khalifah hingga yang melakukan bai’at adalah ahlul halli wal aqdi atau majelis umat. Adapun suara mayoritas rakyat adalah untuk menggambarkan dukungan masyarakat terhadap seorang khalifah.

  1. 4.      Dari Aspek Teknis Operasional
Dalam Islam, bakal calon dan calon khalifah itu bisa ditetapkan oleh perwakilan kaum Muslim yakni Majelis Umat atau kaum Muslim secara umum lewat sekumpulan orang-orang, partai, atau organisasi. Adapun teknis operasionalnya, bisa dengan beragam cara. Akan tetapi, satu hal hal pentingnya adalah prinsip “berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik harus dilakukan seoptimal mungkin”, misalnya melalui  Pemilihan Umum Khalifah untuk mengetahui pilihan umat.
Jika telah diketahui calon khalifah yang memiliki suara mayoritas, maka itu menjadi pertimbangan bagi majelis umat untuk melakukan bai’at (in’iqad) terhadapnya. Wakil kaum Muslim tersebut bisa perwakilan dari tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan organisasi, atau Majelis Umat.
Artinya, dalam hal teknis operasional karena prinsip sistem Khilafah adalah “kekuasaan di tangan umat”, maka mekanismenya adalah melibatkan publik, karena khalifah yang akan dibai’at oleh Majelis Umat harus secara mayoritas mendapatkan dukungan dari umat. Hanya saja, suara mayoritas umat hanya merupakan bahan pertimbangan dari majelis umat atau perwakilan dari tokoh-tokoh umat untuk melakukan bai’at.

Pandangan Islam tentang Pemilukada di Indonesia
Sesungguhnya karena kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota adalah wakil atau “kepanjangan tangan” pemerintahan pusat, maka asas yang digunakan pasti sama, yakni demokrasi. Kepala daerah dipilih tidak untuk melaksanakan syariat (hukum) Allah swt.
Begitupun halnya dengan syarat seorang kepala daerah yang memiliki perbedaan dengan kepala daerah dalam Islam. Kepala daerah di Indonesia tidak harus seorang muslim karena dia dipilih tidak dalam rangka menerapkan syariat (hukum) Allah swt. Begitupun halnya dengan jenis kelamin yang tidak mengharuskan seorang kepala daerah seorang laki-laki. Dalam Islam, karena posisi gubernur atau bupati/walikota sebagai penguasa, maka dia terikat oleh ketentuan syariah yang mengharuskannya seorang laki-laki dan tidak diperbolehkan seorang wanita menempati jabatan kekuasaan seperti halnya gubernur atau bupati/walikota.
Selain di dalam Islam, jabatan kepala daerah sama dengan kepala negara (khalifah) yang tidak ditentukan jangka waktunya. Dalam hal ini, karena kepala daerah diangkat oleh kepala negara (khalifah) maka pemberhentiannya pun tergantung pada kebijakan seorang khalifah.
Metode pengisian jabatan kepala daerah dalam sistem demokrasi di Indonesia juga berbeda dengan ketentuan Islam. Di Indonesia, sebagaimana lazimnya dalam negara demokrasi, seorang kepala daerah dipilih rakyatnya. Bebeda halnya dengan sistem Khilafah, yang kepala daerahnya ditentukan atau ditunjuk oleh seorang kepala negara (khalifah).

Keunggulan Sistem Islam dalam Pengisian Jabatan Kepala Negara dan Kepala Daerah
Keunggulan Pengisian Jabatan Kepala Negara dalam Islam
Penerapan syariat Islam sejatinya pasti mengandung hikmah dan keunggulan dibandingkan dengan sistem yang lain. Dalam hal pengisian jabatan kepala negara (khalifah), metode Islam setidaknya memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut:
  1. 1.      Kekuasaan di tangan umat dan Kedaulatan di Tangan Syariat. Makna asas tersebut adalah bahwa, walaupun khalifah (kepala negara) dipilih oleh umat melalui bai’at sebagai perwujudan dari “asas kekuasaan di tangan umat”, karenanya syariat Islam menolak demokrasi karena menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan mensyaratkan seorang kepala negara harus seorang muslim, karena dia dipilih untuk menerapkan syariat Islam.
Akan tetapi diantara tugas seorang khalifah adalah menerapkan syariat Islam atau hukum-hukum Allah swt yang merupakan perwujudan asas “kedaulatan di tangan syariat”. Hal ini diambil dari fakta bahwa syara’ telah menjadikan pengangkatan kepala negara tidak terjadi kecuali dari sisi kehendak umum mayoritas umat. Dan ini jelas di dalam umat jika umat tidak melaksanakan haknya dalam bai’at, maka kekuasaan tercerabut darinya (umat) dan akan merusak sistem pemerintahan Islam, dengan keluarnya sebagian bentuknya dari ketentuan syara’.
Sistem Islam ini berbeda dengan monarki (kerajaan) yang memunculkan divine rights of king (hak-hak suci raja), raja tidak pernah salah dan semua titahnya tidak boleh dibantah. Inilah justifikasi para raja Eropa dan agamawan (Nasrani) di Eropa ketika menindas rakyatnya di zaman kegelapan Eropa. Akibatnya, muncul perlawanan kalangan terpelajar yang menuntut politik dan pemerintahan di Eropa bebas dari peran agama di era Renaissance.
Sistem Islam juga berbeda dengan Komunisme yang menolak eksistensi agama dan Sekularisme yang mengakui eksistensi agama hanya pada ruang privat tapi menolak campur tangan agama pada ruang publik.

  1. 2.      Manusiawi dan Akuntabel. Sistem Khilafah adalah negara yang manusiawi (ad-dawlah al-basyiriyah). Ini memiliki makna bahwa seorang khalifah (kepala Negara Khilafah) adalah manusia biasa. Ia dipilih oleh ummat Islam untuk memberlakukan semua hukum Islam secara komprehensif pada semua warga negara Khilafah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Ada tujuh syarat yang wajib dimiliki seorang Khalifah, yakni: muslim, laki-laki, baligh, berakal sehat, merdeka (bukan budak), adil, dan berkompeten (mampu menanggung tugas-tugas kenegaraan). Siapa saja yang merasa memiliki ketujuh syarat tersebut berhak mencalonkan diri sebagai khalifah; sehingga, tampuk kekuasaan bukan hak khusus bagi kalangan istana, tapi hak masyarakat secara umum. Seorang muslim yang terpilih sebagai khalifah (bisa lewat pemilu) sah menjadi seorang khalifah setelah menerima pengangkatan dari rakyat lewat bai’at (akad pengangkatan seseorang menjadi kepala negara Khilafah yang disampaikan oleh rakyat kepada sang khalifah). Dengan demikian, peran politik masyarakat dalam menentukan siapa pemimpin mereka terakomodasi.
Adapun mekanisme praktis untuk menjamin terselenggaranya akuntabilitas Negara Khilafah tercermin dalam tiga hal.
a)      Dari sisi institusi pemerintahan. Khilafah memiliki sebuah struktur yang dinamakan al-mazhalim. Ia merupakan salah satu jenis hakim yang memutuskan persengketaan antara rakyat dengan penguasa (khalifah dan semua struktur negara lainnya). Al-mazhalim-lah yang berhak memberhentikan khalifah dari jabatannya jika khalifah dinilai kehilangan salah satu dari tujuh syarat wajib yang harus dimilikinya. Dalam kondisi normal (tidak ada persengketaan antara rakyat dengan khalifah, dan khalifah menjalankan semua kewajibannya), hanya khalifah-lah yang berhak mengangkat dan memberhantikan al-mazhalim. Namun, dalam kondisi terjadi perselisihan antara rakyat dan khalifah, atau khalifah tidak menjalankan kewajiban-kewajibanya, al-mazhalim tidak bisa diberhentikan. Dengan demikian, seorang khalifah dapat dimakzulkan ketika ia menyimpang.
b)      Berdasarkan QS. Ali Imran: 104, kaum Muslim diperintahkan mendirikan partai politik Islam. Aktivitas utamanya adalah aktivitas politik dan pemikiran untuk mewujudkan amar ma’ruf nahyi munkar di tengah masyarakat. Keberadaan lebih dari satu partai politik Islam adalah boleh. Eksistensi partai politik ini legal selama bergerak tanpa kekerasan dan hanya menyerukan Islam. Jika Khilafah dalam kondisi baik, sementara masyarakat masih banyak yang belum memahami dan melaksanakan Islam dengan benar, partai politik berkewajiban membantu negara melakukan edukasi untuk mencerdaskan masyarakat. Sebaliknya, jika Khilafah melakukan penyimpangan dari Islam, partai politik wajib memobilisasi masyarakat untuk mengoreksi negara dan penguasanya.
c)      Setiap individu warga negara berhak melakukan koreksi atas kesalahan khalifah dan struktur pendukung Khilafah lainnya. Salah satu contoh nyata hak koreksi ini ialah ketika Sayyidina Ummar bin Khaththab pernah dikoreksi oleh seorang nenek tua karena menetapkan harga mahar pada nilai tertentu, padahal setiap wanita berhak menentukan sendiri besaran mahar pernikahannya sesuai dengan keinginannya. Atas koreksi yang diberikan, Khalifah Ummar lantas menerimanya dengan lapang dada seraya berkata “Nenek benar, dan Umar salah”.
  1. 3.      Syariat Islam mewajibkan seorang kepala negara (khalifah) seorang laki-laki dan melarang perempuan menempati jabatan tersebut atau jabatan kekuasaan lainnya. Ketentuan tersebut pasti mengandung hikmah.
Diantara kelebihannya, seorang wanita juga memiliki keterbatasan jika harus mengurus suatu negara. Diantaranya adalah, wanita pasti mengalami menstruasi. Kondisi itu akan menyebabkan terjadinya perubahan hormon dan akan berakibat perubahan emosi dan perilaku wanita itu. Dalam keadaan itu akan sulit baginya untuk mengambil keputusan yang sangat penting. Selain itu, seorang wanita juga lazimnya mengalami hamil dan melahirkan. Pada dua kondisi tersebut tentu wanita mengalami keterbatasan sekaligus kelemahan, sementara tugas seorang kepala negara adalah tugas yang sangat berat, terutama jika terjadi peperangan atau pemberontakan misalnya.
Wanita bisa jadi mempunyai seorang anak bahkan mungkin beberapa anak. Dan sebagaimana kewajiban utamanya, seorang wanita adalah “ummun wa robbatul bait” yakni ibu dan pengatur rumah tangga. Maka, menjadi kepala negara yang mengharuskan bekerja bahkan hingga larut malam dipastikan akan menghalangi kewajiban utamanya.

  1. 4.      Tidak dibatasinya periode jabatan seorang khalifah tentu memiliki hikmah tersendiri. Dalam Islam, seorang kepala negara tidak dibatasi masa jabatannya berdasarkan waktu tertentu. Selama tujuh syarat seorang khalifah dapat terpenuhi dan khalifah masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu untuk melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab keKhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah.
Artinya batasannya adalah, masih terpenuhi atau tidak syarat menjadi seorang kepala negara, bukan sudah berapa lama dia menjabat. Jika masih terpenuhi syaratnya, walaupun sudah menjabat lebih dari 5 tahun, maka dia masih absah menjadi seorang khalifah, sebaliknya jika sudah tidak terpenuhi, baru 1 tahun menjabat pun bisa diberhentikan saat itu juga.
Salah satu problem besar dalam negara demokrasi yang membatasi periode masa jabatan kepala negara adalah tidak fokusnya kepala negara dalam mengurus urusan masyarakat. Hal tersebut terjadi akibat para elite politik yang senantiasa sibuk dengan urusan perebutan kursi kekuasaan.
Seringkali siklusnya seperti ini; tahun pertama berkuasa adalah tahap penyesuaian dan membangun kesolidan tim, tahun kedua dan ketiga mulai bekerja. Dan tahun ke empat dan lima sudah berpikir lagi untuk mempertahankan kursi kekuasaan. Sehingga nyaris, waktu efektif untuk bekerja hanya sedikit saja. Tentu dalam konteks pembangunan jangka panjang, kondisi tersebut merupakan problem serius. Ditambah lagi dengan kebiasaan “ganti pejabat, ganti kebijakan”, maka akan menyebabkan pembangunan menjadi tidak optimal dijalankan.
  1. 5.      Walaupun asas negara khilafah adalah “kekuasaan di tangan umat”, akan tetapi bukan berarti mayoritas masyarakat yang memegang kendali pemerintahan. Suara rakyat tetap harus berada dalam koridor syariat Islam. Sebagai contoh, walaupun mayoritas rakyat menghendaki seorang khalifah dari kalangan wanita, karena syariat Islam membatasi harus seorang laki-laki, maka keinginan tersebut tentu tidak bisa diloloskan.
Di dalam Islam, walaupun suara rakyat sangat diperhatikan dalam konteks pemilihan seorang khalifah akan tetapi tetap yang memegang kendali seleksi, pembatasan calon khalifah hingga bai’at in’iqad adalah Majelis Umat yang terdiri dari tokoh, ulama yang merupakan perwakilan dari umat. Sehingga dengan demikian, dalam Islam yang memegang peranan penting mulai dari rekrutmen dan pembatasan calon khalifah hingga yang melakukan bai’at adalah ahlul halli wal aqdiatau majelis umat. Adapun suara mayoritas rakyat sekedar menggambarkan dukungan masyarakat terhadap seorang khalifah.
Selain itu, secara teknis operasional, syariat Islam membolehkan memilih mekanisme yang paling efektif dan efisien selama aspirasi dan keinginan umat dapat terlihat dengan jelas.

Keunggulan Pengisian Jabatan Kepala Daerah dalam Islam
Ada beberapa hikmah dan keunggulan, metode pengisian jabatan kepala daerah dalam Islam dengan yang diterapkan di negara demokrasi seperti halnya Indonesia.
  1. 1.      karena kepala daerah ditunjuk langsung oleh khalifah,  maka kebijakan dan fungsi penguasa termasuk di dalamnya para kepala daerah dalam menerapkan syariah Islam akan dapat berjalan dengan baik. Karena sebagaimana halnya kepala negara, kepala daerah juga memiliki kewajiban untuk menerapkan syariat Islam secara total.
  2. 2.      biayanya sangat murah dan efisien, karena tidak memerlukan adanya pemilihan umum, cukup dengan SK (Surat Keputusan) pengangkatan. Tidak juga ada ‘mahar politik’ dan kampanye yang menghabiskan dana sangat besar.
  3. 3.      akan terjadi sinkronisasi dan harmonisasi gerak langkah antara pemerintah pusat dengan daerah. Alasannya, orang yang menunjuk (Kepala Negara) pasti mengenal dan mengetahui orang yang ditunjuk. Minimal kapabilitas, pemahaman, dan komitmennya. Dimanapun dan dalam hal apapun, kekompakan dan kesolidan tim, terlebih dalam mengelola pemerintahan, adalah modal dasar untuk menjalankan pembangunan. Jika –misalnya—gubernur, karena tidak ditunjuk Kepala Negara, dan tidak merasa berada di bawah struktur Kepala Negara, sehingga berani mengabaikan kebijakan pimpinannya, lalu bagaimana mungkin pembangunan akan berjalan dengan baik? Maka ketentuan kepala daerah ditunjuk langsung oleh khalifah adalah ketentuan yang sangat rasional dan dapat dilaksanakan oleh manajemen modern.
  4. 4.      ada semacam anggapan, jika kepala daerah ditunjuk langsung, maka akan menghasilkan pemimpin yang tidak aspiratif. Perlu diketahui, bahwa penunjukkan kepala Negara terhadap kepala daerah harus memperhatikan aspirasi masyarakat (sekali lagi, yang tidak bertentangan dengan syari’ah), sehingga bisa saja seorang kepala daerah diberhentikan atau diganti jika rakyat daerah tersebut tidak menyukainya atau karena wali (kepala daerah) tersebut melakukan pelanggaran. Dalam Islam, jika suara mayoritas Majelis Wilayah (wakil rakyat di daerah) menilai bahwa seorang wali (gubernur) tidak layak menjadi seorang pemimpin, maka mengharuskan khalifah (kepala Negara) untuk mencopot wali tersebut.
Rasulullah pernah memberhentikan ‘Ila’ bin al-Hadrami yang menjadi amil beliau di Bahrain karena utusan Abd Qays mengadukannya. Umar bin Khathab memberhentikan Saad bin Abi Waqash karena pengaduan masyarakat. Olehkarena itu, penunjukkan wali (kepala daerah) oleh kepala negara, bukan berarti tidak bisa diganggu gugat dan mengenyampingkan aspirasi serta pengaduan rakyat. Sebaliknya, saat ini marilah kita tengok gubernur atau bupati dan walikota yang –katanya—hasil pilihan rakyat tetapi sesaat setelah dilantik, kepentingan rakyatpun diabaikan, hak-hak rakyatpun dikhianati.

Demikianlah keunggulan Islam dalam hal pengisian jabatan kepala negara dan kepala daerah. Semoga dapat menggambarkan kebobrokan sistem demokrasi dan mampu menjelaskan keindahan hukum Islam. Wallahu A’lam.

Sumber :http://hizbut-tahrir.or.id

0 komentar:

Posting Komentar